Naik Haji di Masa Revolusi

Abd. Rahman Hamid

Dosen Sejarah UIN Raden Intan Lampung

Ketika arus revolusi semakin kuat di Jawa dan Sumatra, maka di Indonesia Timur mengalami nasib tragis. Betapa tidak, di daerah yang disebut terakhir, kuasa kolonial justeru menguat setelah Hubertus Jonannes van Mook membentuk Negara Indonesia Timur (NIT: 1946-1950) yang berpusat di Makassar.

Guna memperkuat federalisme, pada akhir tahun 1946 sampai awal 1947, Belanda melancarkan serangkaian aksi pembunuhan massal terhadap penduduk di Sulawesi Selatan yang dipimpin Kapten Reymond Westerling. Peristiwa ini lebih dikenal dengan “Korban 40.000 Jiwa”.

Setelah itu, Belanda melancarkan aksi militer terhadap wilayah RI di Jawa dan Sumatera pada bulan Juli 1947. Tujuan aksi ini adalah merebut pusat-pusat industri dan perusahaan yang telah dikuasai oleh para pejuang republik pasca Perang Dunia II. Belanda membutuhkan banyak biaya untuk memulihkan kekuasaannya di Indonesia.   

Haram Naik Haji

Kondisi Tanah Air yang tidak stabil itu tampak tidak mempengaruhi animo umat Islam untuk naik haji ke Mekkah. Menyikapi hal ini, Mohamed Zein Hassan (Ketua Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia) mengajukan pertanyaan kepada Abdul Madjid Selim (Ketua Badan Fatwa Al Azhar Al Syarif) di Mesir mengenai hukum melaksanakan ibadah haji di masa revolusi.

Selim menjawab bahwa suatu pekerjaan yang mendatangkan lebih besar kerusakan daripada faedahnya, maka perbuatan itu dilarang oleh Islam.Pemimpin tentara atau penjaga negeri pun tidak boleh naik haji kalau kepergiannya dapat menyebabkan kemenangan musuh atau kekacauan negerinya. Begitu pula tentara yang berperang boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan, meskipun ia tidak sakit atau musafir, jika itu dapat membuatnya lemah saat melawan musuh.    

Fatwa tersebut dimuat di majalah Al Azhar yang diterbitkan Masj-jachah Al Djami Al Azhar Al Sjarif di Kairo pada Muharram 1366 (September 1947). Fatwa ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul “Haram Naik Hadji Djika Menjebabkan Fitnah dan Perpetjahan di Kalangan Kaum Muslimin”. Selanjutnya diperbanyak dan dikirim ke Mekkah dengan bantuan seorang haji Mesir. Fatwa ini disebarkan kepada jamaah haji Indonesia di Mekkah pada 1947.    

Sementara di Tanah Air, pada 1947 KH. Hasjim Asj’ari (Ketua Partai Masjumi) mengeluarkan pula fatwa bahwa, “Haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu tidak wajib pergi haji di mana berlaku fardu ’ain bagi umat Islam dalam melakukan perang melawan penjajahan bangsa dan agama”. Fatwa ini disiarkan oleh Kementerian Agama (Chambert-Loir, 2019).  

Sebuah poster berjudul Perang kemerdekaan, Perang Sabilillah, Perang Total” beredar di wilayah RI. Dikatakan bahwa telah diharamkan penjajahan di Tanah Air sejak 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, “seluruh warganegara Indonesia harus dan musti mempertahankan Tanah Airnya, menghancur-lebur-luluhkan musuh, karena kita yakin kita berperang di jalan Allah dan Allahlah yang akan menentukan kalah atau menang. Kita dipihak kebenaran. Dan Allah akan melindungi kita semuanya yang sedang dalam perjuangan kebenaran” (Arsip Kempen, 23).

Menurut Faturrahman (2023) larangan berhaji tersebut tidak berlaku di Indonesia Timur, karena di sana masih kuat pengaruh Belanda. Pemerintah NIT, bahkan, memfasilitasi pengiriman jamaah haji ke Mekkah dengan kapal-kapal perusahaan Kongsi Tiga yaitu Netherland, Rotterdamsche Lloyd, dan Ocean Maatschappij. Pada tahun 1948, tercatat 9.000 jamaah haji dari luar RI dikirim ke Mekkah dengan tujuh kapal Kongsi Tiga (Pelita Rakjat, 10/8/1948).

Umat Islam yang berhaji dengan kapal-kapal itu disebut “Haji NICA” atau “Haji Malino”. Kata NICA merujuk pada Nederlandsch-Indische Civiele Administratie (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda), sedangkan Malino adalah tempat konferensi antara Belanda dan raja-raja/bangsawan di Indonesia Timur pada akhir 1946 yang melahirkan NIT.  

Usaha Belanda memfasilitasi perjalanan haji itu merupakan satu cara untuk memulihkan kepercayaan umat Islam kepada mereka pasca Peristiwa Korban 40.000 Jiwa. Usaha itu juga sebagai cara mendapatkan sumber pemasukan keuangan yang dibutuhkan oleh pemerintah NIT. Penyelenggara pemerintahan ini pun sebagian adalah putra-putra daerah dari Indonesia Timur.

Dengan demikian pelaksanaan ibadah haji, tidak hanya penting bagi umat Islam yang mampu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, tetapi juga satu cara terbaik bagi Belanda dalam rangka menegakkan kembali kekuasannya di Indonesia Timur.  

Pemerintah NIT bertindak tegas terhadap orang-orang yang menghambat proses penyelenggaraan haji dari wilayahnya. Gewestelijke Recherche menahan dan memerika orang-orang yang menyebarkan fatwa haram naik haji dari Mesir kepada umat Islam.   

Respon Raja Arab

Menyikapi perbedaan sikap dari pemerintah RI dan NIT, Raja Arab Ibn Saud secara tegas mengatakan bahwa “Djangan berpolitik di Mekkah-sutji” (Berita Indonesia, 9/1/1948). Betapa tidak, sebelum masa-masa minyak, industri haji merupakan sumber penghasilan terpenting bagi negerinya. Karena itu, ia tidak mau mendapat kesulitan dengan negara-negara yang mengirimkan banyak jamaah haji ke negerinya setiap tahun. Meskipun ia telah mengakaui kemerdekaan Indonesia, namun ia tetap berlaku adil bagi semua jamaah haji dan diplomat dari Indonesia.  

Pemerintah RI untuk sementara tidak dapat mengirimkan orang-orang naik haji. Sejumlah haji republikan di Mekkah sebagian besar hidup dengan kemurahan hati Ibn Saud. Sebaliknya, pemerintah NIT telah mengirimkan 4.000 jamaah haji yang didampingi oleh sebuah komite kehormatan yang dipimpin oleh orang Arab, yakni Ahmad Bachmid selaku Menteri Urusan Agama NIT.  

Keragaman pengalaman umat Islam dalam menunaikan ibadah haji merupakan episode penting dalam sejarah revolusi Indonesia yang perlu dipahami secara cermat dan rasional. Larangan naik haji kepada umat Islam di wilayah RI dari para ulama Indonesia (dan Mesir) tak lepas dari kondisi darurat di Tanah Air. Lalu, fasilitasi Belanda bagi jamaah haji Indonesia Timur merupakan strategi pemulihan kepercayaan umat kepada Belanda akibat peristiwa Korban 40.000 Jiwa. Di sinilah urgensi memahami Sejarah Islam Indonesia secara kontekstual.

Tinggalkan Balasan