Abd. Rahman Hamid
Dosen Sejarah UIN Raden Intan Lampung
Kurang dari satu abad silam, kaum muda Indonesia yang sedang kuliah di Negeri Belanda berhasil mencetuskan empat pergerakan kebangsaan yang kelak mempengaruhi perkembangan pergerakan nasional di Indonesia. Mereka tergabung dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). Selain belajar untuk diri sendiri, mereka juga berpikir dan berbuat untuk kemerdekaan bangsanya. Demi cita-cita itu, ada di antara mereka bersimpang jalan dengan orang tuanya di Tanah Air.
Pemerintah kolonial di Tanah Air mengancam orang tua mahasiswa PI yang menjadi pegawai negeri untuk memililih, apakah anaknya tetap menjadi anggota PI atau mereka keluar dari jabatan negara? Salah satunya adalah Arnold Monuntu. Ayahnya bekerja pada komisaris Kantor Residen di Manado. Bila ia tetap menjadi anggota PI, maka ia tidak akan mendapatkan kiriman belanja dari ayahnya sebanyak 200 gulden/bulan. Dia mengatakan kepada ayahnya lewat suratnya, bahwa dia menjadi anggota PI atas keyakinannya dan dia tidak dapat lagi mengundurkan diri, dan karena itu dia memaafkan ayahnya apabila memutuskan kiriman uang belanja kepadanya (Hatta (2011).
Sejak saat itu anggota PI mengumpulkan sumbangan bagi anggota yang ditimpa kekejaman pemerintah. Mereka saling membantu dengan sistem makan bersama. Anggota yang tidak mempunyai pendapatan tidak perlu membayar harga makanan. Namun, tindakan itu ternyata semakin memperkuat solidaritas mereka. Dari uang yang dikumpulkan itu, Monuntu diberi sumbangan hidup yang tidak sama banyaknya dengan uang yang pernah diterima dari ayahnya.
Tindakan kaum muda itu menunjukkan mereka adalah orang-orang yang tercerahkan, menyitir istilah Anhar Gonggong, yang tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri pada masanya, tetapi juga kepentingan bersama sebagai satu bangsa yang kelak merdeka. Lalu, apa yang membuat mereka lebih cepat berpolitik? Pilihan ini kadang membuat studi mereka terkatung-katung, seolah urusan organisasi dan politik lebih penting dari kuliah.
Mengapa Berpolitik?
Ketika kaum muda Barat terdidik di universitas-universitas mempersiapkan diri untuk kegiatan politik dan kemasyarakatan kemudian hari, sebaliknya kaum muda Indonesia telah melakukan itu sejak belajar di sekolah menengah. Mereka membentuk organisasi kedaerahan dan sukubangsa, seperti Jong Java, Jong Sumatranean Bond, Jong Selebes, Jong Minahasa, dan Jong Ambon.
Kaum muda Indonesia hidup di tengah situasi sulit akibat tindakan penjajah. Karena itu, hampir semua organisasi pemuda dibentuk dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat. Mereka merasa begitu nista hidup di jaman penjajahan. Sejak usia muda mereka telah bergumul dengan pikiran-pikiran yang tidak dialami kaum muda di Barat yang sebaya dengan mereka, kata Hatta dalam pidatonya Indonesia Merdeka yang dibacakan di pengadilan Belanda pada tahun 1928, ketika kaum muda di Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Kalau ditelisik lebih lanjut, kaum muda yang berpikir progresif dan memusingkan diri dengan masalah politik dan kolonial, berasal dari keluarga pegawai pemerintah yang tinggi atau kelas masyarakat bumiputera yang mampu. Pilihan mereka berpolitik tak lepas dari kondisi orang tua mereka yang bekerja kepada pemerintah. Sistem kepegawaian memaksa mereka berdiam diri, atau berbohong, atau berbicara yang enak-enak saja (baca: Asal Bapak Senang) terkait masalah kolonial. Kondisi ini memicu kesadaran anak-anak mereka yang tidak ingin praktek tersebut berlanjut.
Kaum muda merasakan diskriminasi rasial sejak masa Sekolah Dasar, antara kaum kulit putih dan kulit berwarna, atau antara kaum penjajah dan yang dijajah. Mereka menjadi korban kekerasan verbal penjajah lewat berbagai kata hinaan seperti si Inlander orang yang malas, jorok, tak dapat dipercaya, curang, tak tahu berterima kasih, serampangan, dan tak punya kebutuhan apa pun. Semua itu membuat mereka selalu merasa bermusuhan dengan Belanda Hatta (1976).
Kesadaran sejarah pun memacu kaum muda cepat berpolitik. Mereka belajar tentang perjuangan bangsa Belanda membebaskan diri dari penjajahan bangsa Spanyol. Ketika belajar di sekolah rendahan Belanda di Indonesia, anak-anak itu dipaksa mencintai dan mengagumi pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa. Sejarah Indonesia dimulai dengan kedatangan Cornelis de Houtman di Teluk Banten. Sementara kejayaan Indonesia di era sebelumnya tidak diajarkan untuk mereka di sekolah.
Ketika kaum muda belajar di Belanda, mereka merasakan suasana hidup merdeka. Mereka terlepas dari kungkungan suasana yang menyesatkan dari masyarakat kolonial. Itulah sebabnya, maka kesadaran kaum muda untuk merdeka dan hidup bersama sebagai Satu Bangsa (Indonesia) lahir dari Negeri Belanda sampai menyebar hingga ke Indonesia.
Manifesto Politik
Tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda, kaum muda telah merumuskan empat prinsip pergerakan kebangsaan Indonesia yang dikenal dengan sebutan Manifesto Politik PI 1925. Prinsip pertama adalah persatuan, yakni hanya satu Indonesia yang merasa bersatu dan mengesampingkan perbedaan-perbedaan antar kelompok agar dapat mamatahkan kekuatan penjajah. Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia. Yang kedua solidaritas, yakni turut sertanya semua lapisan bangsa Indonesia dalam perjuangan bersama mencapai kemerdekaan. Prinsip ketiga non-kooperasi, yakni pertentangan kepentingan antara fihak penjajan dan yang dijajah. Terakhir, prinsip self-help (berdikari), yaitu bekerja keras agar hubungan-hubungan rohani dan jasmani menjadi normal kembali dalam rangka melumpuhkan dan merusak moril kaum penjajah (Hatta, 1976).
Empat prinsip di atas acapkali diabaikan dalam sejarah persatuan dan kesatuan bangsa. Memori kita tentang itu selalu tertuju pada Sumpah Pamuda 28 Oktober 1928. Padahal peristiwa terakhir ini seharusnya ditempatkan sebagai tonggak kedua Persatuan Indonesia, setelah Manifesto Politik. Kedua peristiwa itu menunjukkan kontribusi penting kaum muda pada lahirnya Satu Bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat di tengah masyarakat yang beragam (Bhineka Tungga Ika).